Batuan silikat merupakan bahan alami yang mengandung banyak unsur hara esensial bagi tanaman. Pada saat ini, batuan silikat telah dimasukan sebagai salah satu sumber hara tanaman (pupuk) dalam konsep pertanian organik (organic farming) (Bockman et al., 1990) disamping bahan organik/kompos dan pupuk hayati (biofertilizers).
Sejak dua dekade terakhir, kemungkinan penggunaan batuan silikat sebagai pupuk pelepas hara lambat (slow release fertilizer) telah mendapat perhatian sig-nifikan dari para pakar ilmu tanah dan agronomi. Penggunaan pupuk batuan sili-kat (PBS) dalam bidang pertanian juga dikaitkan dengan pemanfaatan quarry by-products di Australia Barat (Coroneous et al., 1996; Hinsinger et al., 1996; Bolland dan Baker, 2000), Queensland (Coventry et al., 2001), dan Brazil (Leonardo et al., 1987). Batuan silikat di Indonesia sangat melimpah, tetapi penelitian ataupun perhatian mengenai kemungkinan penggunaan PBS sebagai sumber hara tanaman maupun amelioran tanah belum ada/sangat terbatas.
Sejak dua dekade terakhir, kemungkinan penggunaan batuan silikat sebagai pupuk pelepas hara lambat (slow release fertilizer) telah mendapat perhatian sig-nifikan dari para pakar ilmu tanah dan agronomi. Penggunaan pupuk batuan sili-kat (PBS) dalam bidang pertanian juga dikaitkan dengan pemanfaatan quarry by-products di Australia Barat (Coroneous et al., 1996; Hinsinger et al., 1996; Bolland dan Baker, 2000), Queensland (Coventry et al., 2001), dan Brazil (Leonardo et al., 1987). Batuan silikat di Indonesia sangat melimpah, tetapi penelitian ataupun perhatian mengenai kemungkinan penggunaan PBS sebagai sumber hara tanaman maupun amelioran tanah belum ada/sangat terbatas.
Secara umum, hasil-hasil penelitian tentang kemungkinan penggunaan PBS sangat positif, dan direspon oleh kalangan industri di beberapa negara dengan memproduksi PBS pada skala besar. Namun aplikasi PBS dalam bidang pertanian sangat terbatas, karena pada umumnya para praktisi/petani masih ragu akan efek-tivitas PBS. Berbagai hasil penelitian yang pernah dilakukan, permasalahan aplikasi PBS, serta beberapa pemikiran tentang kemungkinan penggunaan PBS untuk mengatasi masalah-masalah praktis usahatani dan degradasi sumberdaya lahan di Indonesia, dipaparkan dalam tulisan ini.
PBS Sebagai Sumber Hara Tanaman
Tanaman tingkat tinggi membutuhkan sekitar 17 unsur hara esensial (Welch, 1995), yaitu C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Zn, Cu, B, Ni, Mo, Cl. Bebe-rapa unsur tambahan (Co, Si, Na) dibutuhkan oleh tanaman tertentu atau dalam kondisi lingkungan tertentu. Dari banyak macam hara esensial itu, sebagian besar terdapat dalam batuan silikat - sebagai hasil erupsi gunung berapi dan merupakan bahan induk utama sebagian besar tanah mineral. Melalui proses biofisik dan ki-mia yang kompleks, unsur hara pada batuan tersebut dapat terlarutkan oleh agen pelapuk batuan. Unsur hara terlarut dapat diserap tanaman yang tumbuh pada tanah yang terbentuk dari batuan induk tersebut.
Proses pelapukan dan pelarutan unsur hara dari batuan (bahan induk tanah mineral) secara alami sangat lambat, jauh lebih lambat daripada laju serapan hara oleh tanaman. Peningkatan intensitas tanam dan penggunaan varietas unggul yang rakus terhadap unsur hara, memerlukan stok unsur hara tersedia dalam tanah yang banyak pula untuk dapat mempertahankan hasil tanaman yang optimum. Sistim usahatani yang selama ini diterapkan di banyak tempat hanya menggunakan pupuk N, P, dan/K mudah larut, sementara unsur hara lain di dalam tanah meng-alami defisit terus-menerus. Akibatnya, terjadi ketidak-seimbangan dan kekahatan berbagai unsur hara serta pemasaman tanah yang pada akhirnya menurunkan efektivitas pemupukan (N, P) dan hasil tanaman. Batuan silikat atau dikom-binasikan dengan pupuk alami lainnya (organik) kemungkinan dapat digunakan sebagai pengganti (replacement) hara yang terkuras tersebut. Penelitian tentang PBS terutama diarahkan pada upaya untuk mempercepat proses pelarutan hara dari PBS di dalam tanah/rhizosphere dengan melakukan modifikasi faktor-faktor yang mengontrol disolusi PBS, serta evalusi efektivitas agronomi PBS pada berbagai jenis tanaman dan tanah.
Efektivitas Agronomi PBS dan Faktor yang Mempengaruhinya
Hasil penelitian de Villers (1961), Sanz Scovino dan Rowell (1988), Gillman (1980), Gillman et al. (2001 dan 2002), Leonardos et al. (1987 dan 2000), Coventry et al. (2001), Harley (2002), dan Priyono (2004) menunjukan bahwa PBS mempunyai banyak keunggulan potensial dibandingkan dengan pupuk kimia. Keunggulan tersebut adalah:
• PBS mengandung banyak macam hara esensial bagi tanaman dan kemungkin-an dapat digunakan sebagai pupuk majemuk (multinutrient fertilizers).
• Selain sebagai sumber hara, aplikasi PBS juga mempunyai efek pengapuran (meningkatkan pH tanah) dan mengurangi toksisitas (sifat beracun) dari unsur-unsur tertentu/mikro yang kadarnya dalam tanah terlalu tinggi untuk tanaman.
• PBS sebagai pupuk non polutant karena pelepasan hara dari PBS yang lambat sehingga polusi tanah dan air akibat pelindihan (leaching) hara dari lahan pertanian sangat minim.
• Penggunaan PBS mempunyai pengaruh positif terhadap sifat tanah dan pertumbuhan tanaman dalam jangka waktu lama sehingga dapat menjamin keberlanjutan (sustainability) hasil tanaman yang tinggi.
Sebagai respon positif terhadap hasil penelitian di atas, PBS dari batuan basalt (Ø < 250 μm) telah diproduksi pada skala industri di Queensland dengan merk dagang MinplusTM (Coventry et al., 2001), sedangkan di Jerman (90 % Ø < 0.1 mm) dengan merk dagang ‘Eifelgold’ (Hildebrand dan Schack-Kirchner, 2000).
Meskipun banyak peneliti merasa optimis akan keunggulan PBS seperti dije-laskan di atas, beberapa peneliti lain justru pesimis akan keefektivan PBS berda-sarkan hasil penelitian mereka. Misalnya, Coroneous et al. (1996) dan Hinsinger et al. (1996) menyimpulkan bahwa penggunaan bubuk batuan granit sebanyak 20 t/ha tidak efektif sebagai sumber K untuk pertumbuhan ryegrass, bahkan peneli-tian di lapang yang dilakukan oleh Bolland dan Baker (2000) dengan PBS dan dosis yang sama menunjukan penurunan hasil wheat hingga mencapai 65 % re-latif terhadap produksi yang diperoleh dengan pemberian pupuk K dalam bentuk KCl. Bakken et al. (1997 dan 2000) juga menyimpulkan bahwa penggunaan bubuk batuan dari limbah pertambangan (mine tilling) yang terdiri atas mineral mika dan feldspars memberikan sumbangan unsur hara K yang sangat kecil bagi pertumbuhan tanaman rumput.
Perbedaan hasil penelitian itu disebabkan oleh adanya keragaman jenis dan ukuran partikel PBS serta jenis tanah dan tanaman yang digunakan. Perbedaan ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel, atau tidak adanya informasi tentang ukuran partikel pada beberapa hasil penelitian yang dipublikasikan, menyulitkan untuk dilakukan perbandingan hasil penelitian secara proporsional (Harley dan Gilkes, 2000). Terlepas dari kontradiksi hasil penelitian tersebut, sebagian besar pakar sependapat bahwa faktor pembatas utama penggunaan PBS dalam bidang pertanian secara luas adalah sangat rendahnya kadar dan lambatnya pelarutan unsur hara dari PBS ke dalam larutan tanah, sehingga diperlukan dosis yang sangat tinggi dan tidak ekonomis (Hinsinger et al., 1996).
Batuan silikat dapat dikelompokan menjadi dua kelompok berdasarkan domi-nasi mineral penyusunnya, yaitu batuan mafic dan felsic. Kelompok batuan mafic, secara mudah dikenali dari warnanya yang kelam, didominasi oleh mineral ferro-magnesian silikat yang mengandung banyak kation basa seperti Mg, Ca, serta unsur hara mikro Mn, Fe, Cu, dan Zn dengan sedikit K (< 1 % K2O). Kelompok batuan felsic (umumnya berwarna cerah) didominasi oleh mineral kaya silika (kwarsa dan/feldspar) mengandung sedikit hingga cukup banyak unsur K (4 – 20 % K2O, Priyono, 2004), tetapi miskin unsur hara mikro (Fe, Zn, Cu dsb) (Krauskopt, 1972; Aubert dan Pinta, 1979; Priyono, 1991 dan 2004; Deer et al., 1996; Harley dan Gilkes, 2000). Ketepatan pemilihan jenis batuan sebagai PBS akan tergantung pula pada jenis dan intensitas kekahatan unsur hara tanaman (Coroneos et al., 1996; Hinsinger et al., 1996; Bolland dan Baker, 2000). PBS dari feldspars (Sanz Scovino dan Rowell, 1988) dan gneiss (Wang et al., 2000; Priyono, 2004) yang termasuk dalam kelompok batuan felsic mungkin lebih sesuai sebagai sumber hara K untuk diaplikasikan pada tanah yang kahat K dari- pada bubuk batuan mafic (misalnya basalt dan dolerite).
Sifat tanah, misalnya tekstur (Priyono, 1991; Priyono dan Gilkes, 2004), pH (Holdren dan Berner, 1979; Priyono dan Gilkes, 2004), serta kadar air dan bahan organik (Oliva et al., 1999) juga menentukan efektivitas PBS. Pupuk batuan silikat sangat efektif apabila diaplikasikan pada tanah masam dan/miskin hara (Conventry et al., 2001; Harley, 2002; Priyono, 2004). Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan PBS sebagai pemasok berbagai hara esensial bagi tanaman dan sebagai bahan kapur (meningkatkan pH tanah). Dalam kondisi kahat hara, akar tanaman mengeluarkan berbagai asam organik (dalam bentuk eksudat) yang lebih banyak dibanding tanaman dalam kondisi kecukupan hara (pertumbuhan normal) (Hinsinger et al., 2001).
Jenis tanaman yang berbeda mungkin berbeda pula dalam hal kebutuhan unsur hara sehingga mempengaruhi efektivitas PBS. Misalnya, tanaman rumput (rye-grass) lebih banyak menyerap unsur hara Ca, Mg, dan K daripada clover yang dipupuk dengan mineral silikat yang digiling secara intensif (high-energy milling) (Harley, 2002). Hasil penelitian Wang et al. (2000) menunjukkan bahwa penga-ruh jenis tanaman terhadap efektivitas PBS terkait dengan efisiensi sistim perakar-an tanaman dalam mengabsorsi unsur hara (K) dari batuan silikat (gneiss), dan efisiensi perakaran jagung > ryegrass > pak-choi. Peran penting akar tanaman sebagai stimulan pelarutan hara dari batuan di rhyszosphere dibuktikan pula oleh Hinsinger et al. (1995 dan 2001).
Beberapa cara praktis untuk mempercepat pelarutan hara dari PBS ke dalam larutan tanah telah dikaji, misalnya melalui pengasaman (acidulation) gneiss dengan asam kuat/ H2SO4 (Werasuriya et al., 1993) dan penggilingan intensif (high-energy milling) (Harley, 2002; Lim et al., 2003; Priyono, 2004). Metode acidulation sangat efektif, tetapi penggunaan asam kuat yang dicampur dengan PBS mungkin perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Penggi-lingan intensif (high-energy milling) yang umumnya digunakan dalam industri keramik atau bidang tehnik material (material engineering) dapat menghancurkan struktur mineral atau batuan dan dihasilkan nanoparticles yang sangat reaktif (Garcia et al., 1991; Suraj et al., 1997; Sugiyama et al., 1994; Gasalla et al., 1987; Aglietti, 1994; Kühnel dan Van der Gaast, 1989). Tehnik tersebut telah digunakan untuk memproduksi pupuk dan ternyata dapat meningkatkan efektivitas PBS dari beberapa jenis mineral silikat (Harley, 2002), fosfat alam (Lim et al., 2003), basalt, dolerite, gneiss, dan K-feldspar (Priyono et al., 2002; Priyono dan Gilkes, 2004). Pada skala laboratorium, 10 hingga 90 menit (tergantung pada jenis batu-an) merupakan lama waktu penggilingan PBS dengan energi tinggi yang optimum (Priyono et al., 2002). Hasil kajian tersebut menjukkan bahwa batuan silikat yang digiling halus sangat potensial untuk dapat digunakan sebagai pupuk yang secara agronomis lebih efektif atau sama efektifnya dengan pupuk kimia (dalam bentuk senyawa garam mudah larut dalam air). Akan tetapi, kajian lebih lanjut tentang kelayakan tehnis maupun ekonomis (milling cost) produksi PBS pada skala industri dan aplikasinya pada berbagai jenis tanaman dan tanah perlu dilakukan.
PBS Sebagai Bahan Amelioran Tanah
Aplikasi PBS selain dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman juga berpengaruh positif terhadap beberapa sifat tanah penting lainnya yang secara ga-bungan dan saling tindak (confounding effects) mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman (Priyono, 2004). Pada kondisi tanah tertentu, PBS dapat lebih ber-peran sebagai bahan amelioran umum daripada hanya sebagai pemasok unsur hara tanaman (Blum et al., 1996; Coventry et al., 2001; Priyono, 2004).
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi PBS dapat meningkat-kan pH tanah masam (Holdren dan Berner, 1979; Gillman, 1980; Gillman et al., 2001 dan 2002; Leonardos et al., 1987 dan 2000; Wang et al., 2000; Coventry et al., 2001; Harley, 2002; Priyono et al., 2002; Priyono dan Gilkes, 2004) dan EC (Priyono, 2004), meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Gillman et al., 2001 dan 2002; Coventry et al., 2001), dan mengurangi toksisitas Al dan jerapan P oleh kation polivalen (Mn, Fe, Al) pada tanah masam (Coventry et al., 2001). Sejauh ini, pengaruh PBS terhadap aktivitas organisme tanah dan keragam-an hayati belum banyak disentuh oleh peneliti atau belum dipublikasikan. Selain itu, pemberian PBS (dosis 5 – 10 t/ha) meningkatkan pasokan hara Si dalam jum-lah besar (Conventry et al., 2001; Priyono, 2004), dan hal itu memberikan keun-tungan tambahan kaitannya dengan peningkatan ketahanan tanaman tertentu ter-hadap serangan hama dan penyakit (Volk et al., 1958; Epstein, 1999) dan mengu-rangi toksisitas Al pada tanaman jagung (Corrales et al., 1997).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, PBS perlu pula dilihat pada kapa-sitasnya sebagai bahan remedial untuk menangani masalah-masalah khusus dalam bidang pertanian dan lingkungan. Misalnya, masalah yang berkaitan dengan ke-masaman pada tanah sulfat masam, tanah sodik/salin, reklamasi lahan terdegrada-si akibat aktivitas pertambangan maupun penebangan hutan. Karena itu, peneliti-an tentang PBS perlu diarahkan pula pada kemampuan PSB sebagai bahan (1) penetral kemasaman pada tanah sulfat masam, (2) penetral salinitas tanah salin/ sodik, (3) peremajaan lahan-lahan terdegradasi, dan (4) stimulan keanekaragaman hayati (biodiversity) (Priyono, 2004). Berbagai pengaruh positif dari PBS terha-dap sifat tanah maupun hasil tanaman serta aspek lingkungan secara umum belum diperhitungkan dalam banyak kajian/evaluasi tentang efektivitas PBS.
Penggunaan PBS pada Sistim Usahatani di Indonesia
Kajian kemungkinan penggunaan PBS di Indonesia belum banyak dilakukan atau dipublikasikan hasilnya. Sarief (1999) menunjukkan dampak positif dari abu volkan hasil letusan G. Galunggung terhadap sifat dan produktivitas tanah. Berdasarkan temuan itu dapat diperkirakan bahwa produktivitas tanah pertanian di daerah vulkanik dan sekitarnya lebih tinggi daripada di daerah non vulkanik, meskipun studi komparatif secara luas (di Indonesia) belum pernah dilakukan. Satu hal yang mungkin perlu dipertanyakan adalah Perlukah PBS digunakan pada sistim usahatani di Indonesia? mengingat sebagian besar lahan pertanian di Indonesia berada di daerah vulkanik atau berbahan induk batuan silikat. Sebelum dapat menjawab pertanyaan tersebut, beberapa hal yang relevan perlu dipaparkan kembali sebagai bahan pertimbangan.
Swasembada pangan (beras) pernah kita capai sebagai hasil dari kebijakan penggunaan bahan agro-kimia. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir kita harus mengimport bahan pangan (misalnya beras dan gula) dari negara tetangga dalam kuantitas cukup besar. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah menurunnya produktivitas lahan pertanian kita. Pada saat yang sama, penggunaan pupuk (terutama N/urea) persatuan luas cenderung terus meningkat, tetapi tidak selalu diikuti oleh peningkatan hasil yang proporsional. Hal tersebut tentu ada penyebabnya, antara lain terjadinya ketidak-seimbangan hara dalam tanah. Penambahan PBS sebagai sumber hara nir N mungkin tidak akan mening-katkan produksi tanaman pangan secara dramatis, tetapi setidaknya dapat mem-pertahankan tingkat produksi yang wajar untuk jangka waktu lama (sustainable). Sebagai pupuk pelepas hara lambat dan pengaruhnya dalam jangka waktu lama, PBS sangat sesuai untuk diaplikasikan pada tanaman perkebunan (Conventry et al., 2001) yang banyak dikembangkan pada tanah masam (Latosol dan Podsolik).
Kombinasi pupuk organik/kompos dan PBS mungkin merupakan alternatif yang paling tepat sebagai pengganti pupuk kimia yang sebagian besar harus diimport. Pupuk organik/kompos berfungsi sebagai pemasok hara (termasuk N dan P), memperbaiki sifat fisik tanah (struktur, kemampuan menyimpan air dsb) dan sumber energi organisme tanah; sedangkan PBS berfungsi sebagai pemasok hara (kecuali N) dan amelioran tanah secara umum. Kombinasi kedua bahan tersebut diperkirakan akan mempunyai efek saling tindak yang saling mendukung (interaksi sinergik) terhadap perbaikan sifat tanah maupun partumbuhan tanaman. Tersedianya sumber energi (bahan organik) akan mengintensifkan aktivitas orga-nisme tanah. Aktivitas organisme tanah menghasilkan asam-asam organik yang dapat mempercepat pelarutan hara dari PBS (Huang dan Kiang, 1972; Barman et al., 1992). Sebaliknya, pelarutan PBS meningkatkan pH dan fungsi amelioran lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan aktivitas optimum organisme tanah (Dong et al., 2000; Liermann et al., 2000).
Pengadaan bahan baku pupuk organik dapat dikaitkan dengan pemanfaatan limbah organik pertanian dan domestik. Batuan silikat sangat melimpah di Indonesia, kecuali di pulau-pulau yang tidak terdapat atau tidak pernah/sedikit menerima kiriman hasil erupsi gunung berapi (misalnya P. Kalimantan, beberapa bagian dari P. Sumatera, Sulawesi, Irian Jaya, dan NTT). Selain itu, limbah dari industri bahan bangunan dari batuan silikat (quarry by-products) berupa partikel halus/debu dapat dimanfaatkan sebagai PBS. Dengan demikian kedua bahan baku pupuk alami tersebut tersedia secara lokal dan pemanfaatannya sekaligus dapat dikaitkan dengan penanganan sebagaian masalah pencemaran lingkungan hidup. Ringkasnya, penggunaan PBS bersamaan dengan bahan organik/kompos diper-lukan pada sistim usahatani (tanaman pangan maupun perkebunan) di Indonesia menuju pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Aglietti, E.F., 1994. The effects of dry grinding on the structure of talc. App. Clay Sci. 9: 41-147.
Aubert, H. dan Pinta, M., 1977. Trace element in soils. Elsevier Sci. Publ. Co., New York.
Bakken, A.K., Gautneb, H., dan Myhr, K., 1997. The potential of crushed rocks and mine tailings as slow-releasing K fertilizers assessed by intensive cropping with Italian ryegrass in different soil types. Nutrient Cycling in Agroecosystems 47: 41 – 48.
Bakken, A.K., Gautneb, H., Sveistrup, T., dan Myhr, K., 2000. Crushed rocks and mine tailings applied as K fertilizers on grassland. Nutrient Cycling in Agroecosystems 56: 53 – 57.
Barman, A.K., Varadachari, C., dan Ghosh, K., 1992. Weathering of silicate minerals by organic acids. I. Nature of cation solubilisation. Geoderma 53: 45-63.
Bockman, O.C., Kaarstad, O., Lie, O.H., dan Richard, I., 1990. Agriculture and fertilizers. Fertilizers in perspective. Norsk Hydro a.s. Publ., Oslo, Norway.
Bolland, M.D.A. dan Baker, M.J., 2000. Powdered granite is not an effective fertilizer for clover and wheat in sandy soils from Western Australia. Nutrient Cycling in Agroecosystems 56: 59 – 68.
Coroneos, C., Hinsinger, P dan Gilkes R.J., 1996. Granite powder as a source of potassium for plants: a glasshouse bioassay comparing two pasture species. Fert. Res. 45:143 – 152.
Corrales, I., Poschenrieder, C., dan Barceló, J., 1997. Influence of silicon pretreatment on aluminium toxicity in maize roots. Plant and Soil 190: 203 – 209.
Coventry, R.J., Gillman, G.P., Burton, M.E., McSkimming, D., Burkett, D.C., and Horner, N.L.R., 2001. Rejuvenating soils with MinplusTM, a rock dust and soil conditioner to improve the productivity of acidic, highly weathered soils. A Report for the Rural Industries Research and Development Corporation (RIRDC), Publ. No 01/173, Townsville, Qld.
Deer, W.A., Howie, R.A., dan Zussman, J., 1992. An introduction to rock-forming minerals. Longmans Scientific & Technical, Essex, UK.
Aglietti, E.F., 1994. The effects of dry grinding on the structure of talc. App. Clay Sci. 9: 41-147.
Aubert, H. dan Pinta, M., 1977. Trace element in soils. Elsevier Sci. Publ. Co., New York.
Bakken, A.K., Gautneb, H., dan Myhr, K., 1997. The potential of crushed rocks and mine tailings as slow-releasing K fertilizers assessed by intensive cropping with Italian ryegrass in different soil types. Nutrient Cycling in Agroecosystems 47: 41 – 48.
Bakken, A.K., Gautneb, H., Sveistrup, T., dan Myhr, K., 2000. Crushed rocks and mine tailings applied as K fertilizers on grassland. Nutrient Cycling in Agroecosystems 56: 53 – 57.
Barman, A.K., Varadachari, C., dan Ghosh, K., 1992. Weathering of silicate minerals by organic acids. I. Nature of cation solubilisation. Geoderma 53: 45-63.
Bockman, O.C., Kaarstad, O., Lie, O.H., dan Richard, I., 1990. Agriculture and fertilizers. Fertilizers in perspective. Norsk Hydro a.s. Publ., Oslo, Norway.
Bolland, M.D.A. dan Baker, M.J., 2000. Powdered granite is not an effective fertilizer for clover and wheat in sandy soils from Western Australia. Nutrient Cycling in Agroecosystems 56: 59 – 68.
Coroneos, C., Hinsinger, P dan Gilkes R.J., 1996. Granite powder as a source of potassium for plants: a glasshouse bioassay comparing two pasture species. Fert. Res. 45:143 – 152.
Corrales, I., Poschenrieder, C., dan Barceló, J., 1997. Influence of silicon pretreatment on aluminium toxicity in maize roots. Plant and Soil 190: 203 – 209.
Coventry, R.J., Gillman, G.P., Burton, M.E., McSkimming, D., Burkett, D.C., and Horner, N.L.R., 2001. Rejuvenating soils with MinplusTM, a rock dust and soil conditioner to improve the productivity of acidic, highly weathered soils. A Report for the Rural Industries Research and Development Corporation (RIRDC), Publ. No 01/173, Townsville, Qld.
Deer, W.A., Howie, R.A., dan Zussman, J., 1992. An introduction to rock-forming minerals. Longmans Scientific & Technical, Essex, UK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar